PerihalNasional – Jagat politik Tanah Air kembali diguncang setelah pernyataan kontroversial dari kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dedi Nur Palakka, menyebut Presiden Joko Widodo layak disebut sebagai “nabi politik”. Ucapan tersebut menuai respons keras dari berbagai kalangan, terutama tokoh agama, yang menilai pernyataan itu berpotensi menyinggung sensitivitas keagamaan.
“Pak Jokowi itu memenuhi syarat menjadi nabi, hanya saja beliau memilih menjadi manusia biasa yang bersahaja,” ujar Dedi dalam sebuah forum diskusi politik baru-baru ini.
Pernyataan itu langsung ditanggapi serius oleh Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Dr. Ikhsan Abdullah. Ia menilai ucapan tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai keagamaan dan dapat dikategorikan sebagai penistaan agama.
“Pernyataan itu tidak bisa dianggap sebagai candaan politik. Menyamakan manusia dengan nabi adalah pelanggaran serius terhadap keyakinan umat. Ini harus disikapi secara bijak tapi tegas,” kata KH. Ikhsan.
Pengultusan Tokoh Politik dan Bahaya Pencitraan
Fenomena glorifikasi berlebihan terhadap tokoh politik sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Dari panggung kampanye hingga media sosial, berbagai narasi hiperbolis kerap dibangun demi membentuk citra pemimpin yang nyaris tak tersentuh kritik. Namun, saat pengultusan bersentuhan dengan unsur agama, hal itu dianggap melewati batas.
Beberapa pengamat menilai, pujian berlebihan seperti ini dapat berfungsi sebagai alat distraksi politik. Dosen Ilmu Politik dari Universitas Nasional, Dr. Andriansyah, menyebut pernyataan semacam itu bisa saja merupakan bagian dari “permainan catur opini publik”.
“Dalam politik, menggeser perhatian publik dari satu isu ke isu lain bukan strategi baru. Pujian yang bombastis bisa menjadi ‘vaksin’ untuk mengalihkan fokus dari persoalan yang lebih substansial,” ujar Andriansyah.
Isu Ijazah dan Politik Pengalihan
Sejumlah kalangan menyoroti kemungkinan bahwa pernyataan Dedi Nur Palakka muncul di tengah menghangatnya kembali isu mengenai dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi. Meski telah beberapa kali dibantah pihak Istana dan dinyatakan tidak berdasar secara hukum, isu ini tetap menjadi sorotan tajam di ruang publik.
Analis komunikasi politik, Mira Anindya, menilai bahwa narasi “Jokowi sebagai nabi” justru memperkeruh suasana dan dapat digunakan sebagai bahan bakar agitasi oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan politik tertentu.
“Ini bisa jadi strategi untuk menggeser perhatian dari hal yang lebih kritis. Masyarakat perlu bijak membaca dinamika ini, karena dalam politik, tidak semua yang tampak adalah kenyataan,” jelasnya.
Antara Strategi dan Simbolisme Politik
Karier politik Jokowi yang dimulai dari dunia usaha mebel hingga menduduki kursi RI 1 sering disebut sebagai kisah “zero to hero”. Ia dianggap sebagai sosok yang melampaui banyak teori politik konvensional, dengan gaya kepemimpinan yang bersahaja namun penuh kejutan strategi.
Namun, pengkultusan terhadap figur pemimpin — siapa pun dia — tetap menjadi hal yang perlu diwaspadai dalam demokrasi. Demokrasi membutuhkan kritik, bukan puja-puji yang membutakan.
“Menempatkan pemimpin pada posisi yang tidak bisa dikritik adalah awal dari pembusukan demokrasi,” tegas Mira Anindya.