PerihalFakta – “I have a dream.” – Martin Luther King Jr.
Kalimat ikonik ini seharusnya tidak hanya menggema di tengah hiruk-pikuk kota besar, tapi juga hidup dalam jiwa-jiwa muda di pelosok desa. Sebab mimpi, sejatinya, tidak pernah mengenal batas geografis. Ia tumbuh di mana pun ada harapan dan keyakinan yang dijaga.
Saya meyakini satu hal sederhana: setiap anak bangsa berhak untuk bermimpi besar. Seperti kata Bung Hatta, “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin kecil di desa.” Kalimat ini bukan sekadar kutipan—ia adalah pijakan moral bahwa perubahan besar bisa bermula dari tempat-tempat yang sering terabaikan.
Namun kenyataan di lapangan tidak selalu ramah. Anak-anak muda di desa kerap menghadapi keterbatasan: akses pendidikan yang belum merata, koneksi internet yang lambat, hingga minimnya ruang ekspresi dan pemberdayaan. Tak sedikit dari mereka yang mulai meragukan mimpinya sendiri bahkan sebelum sempat mencoba.
Tapi sejarah justru banyak dibentuk oleh mereka yang lahir jauh dari pusat kekuasaan dan keramaian. Lihatlah Tan Malaka, pemikir revolusioner dari Nagari Pandam Gadang, atau HOS Cokroaminoto dari Ponorogo. Mereka membuktikan bahwa tempat lahir bukanlah penentu tinggi rendahnya cita-cita.
Saya sendiri lahir di desa Ellak Laok. Saat pulang dari Surabaya tahun 2020, saya kembali menemukan desa saya tetap setia dengan keterbatasannya—akses internet seadanya, ruang inspirasi hampir tak ada, dan kegiatan pemberdayaan nyaris hening. Tapi dari sanalah keyakinan saya tumbuh: bahwa mimpi besar tidak hanya milik anak kota.
Dalam perjalanan ini, saya berpegang pada dua prinsip penting. Pertama, konsep ERO dari kelas ESQ bersama Pak Ary Ginanjar: Event – Response – Outcome. Kita mungkin tak bisa memilih kondisi kita (Event), tapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya (Response) untuk mencapai hasil yang kita inginkan (Outcome).
Kedua, adalah keyakinan yang diungkap Martin Luther King Jr.: “Faith is taking the first step even when you can’t see the whole staircase.” Beriman pada mimpi adalah melangkah, bahkan ketika jalan masih gelap dan tak sepenuhnya terlihat.
Dua prinsip ini menjadi bahan bakar semangat saya. Bahwa sekalipun langkah kita dimulai dari jalan-jalan kecil berlumpur, kita tetap bisa menuju panggung besar. Karena mahakarya tidak lahir dari tempat, tapi dari tekad.
Anak desa bukan generasi pinggiran. Mereka adalah cahaya yang sedang menyala—asal diberi ruang, didengar, dan diberi percaya.