PerihalPendidikan – Kasus dugaan pencabulan oleh seorang oknum guru di Kabupaten Sumenep bukan hanya menyisakan luka kemanusiaan yang dalam, tetapi juga menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan: bahwa ruang yang seharusnya aman bagi anak-anak masih menyimpan ancaman ketika sistem pengawasan longgar dan perlindungan tidak dijalankan secara menyeluruh.
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kabupaten Sumenep menunjukkan sikap tegas dan konsisten. Melalui pernyataannya, IPNU menegaskan bahwa sekolah seharusnya menjadi ruang tumbuh dan berlindung—bukan ruang traumatis. Ketika seorang pendidik, yang mestinya menjadi suri teladan moral, justru menjadi pelaku kekerasan seksual, maka dampaknya bukan hanya menyasar korban secara pribadi, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan itu sendiri.
IPNU menyatakan dengan jelas: kejahatan seksual terhadap anak bukan sekadar pelanggaran hukum. Itu adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai keilmuan, moralitas, dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, desakan IPNU agar aparat penegak hukum bertindak tegas, transparan, dan tanpa pandang bulu adalah sikap yang patut diapresiasi. Hukum tidak boleh digunakan untuk menyelamatkan citra institusi, melainkan untuk menegakkan keadilan dan memulihkan hak korban.
Lebih dari itu, IPNU juga menggarisbawahi pentingnya perlindungan menyeluruh bagi korban, baik dari sisi hukum maupun pemulihan psikologis. Luka akibat kekerasan seksual bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga psikis, yang dalam banyak kasus bisa menghantui seumur hidup. Oleh karena itu, pemulihan korban harus menjadi prioritas, tidak kalah penting dari penindakan terhadap pelaku.
Tragedi ini juga menjadi momen reflektif bagi seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Sudah saatnya sistem perlindungan anak diperkuat secara nyata—bukan hanya di atas kertas. Sekolah harus menjadi tempat yang menyediakan mekanisme pelaporan yang aman, mendidik seluruh unsur pendidik untuk memahami dan mencegah kekerasan seksual, serta menjamin bahwa setiap anak merasa dilindungi.
Keberanian IPNU Sumenep untuk bersuara harus menjadi contoh. Di tengah banyaknya pihak yang masih enggan berbicara atas nama korban, IPNU hadir sebagai garda moral yang mengingatkan: keberpihakan kepada yang lemah adalah panggilan nurani.
Keadilan sejati tidak berhenti pada penghukuman pelaku, tetapi juga pada upaya membangun lingkungan yang bebas dari rasa takut. Pendidikan bukan sekadar tentang pengetahuan, tetapi juga tentang kemanusiaan—dan tidak ada kemanusiaan jika hak anak untuk merasa aman direnggut.
Dalam situasi seperti ini, diam adalah bentuk pembiaran. Kita semua—masyarakat, pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan—mempunyai tanggung jawab kolektif untuk bertindak. Menjaga ruang aman pendidikan bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab kita bersama. Karena ketika anak-anak tak lagi aman di sekolah, maka masa depan bangsa sedang kita pertaruhkan.
Oleh: Achmad Nizar, Alumni STKIP PGRI Sumenep, Prodi PPKn | Santri Ponpes Nurul Muchlishin, Lebeng Timur, Pasongsongan