PerihalPendidikan – Apa gunanya anggaran pendidikan yang besar, jika masih banyak anak Indonesia yang kesulitan membaca namanya sendiri? Pertanyaan ini bukan untuk menyudutkan, tapi untuk mengajak kita semua merenung: sudahkah pendidikan kita benar-benar menyentuh inti dari belajar?
Beberapa waktu lalu, ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali, dilaporkan belum bisa membaca (CNN Indonesia, 15 April 2025). Di saat yang sama, kita bangga membicarakan kecerdasan buatan dan pembelajaran digital. Sayangnya, kemajuan teknologi sering kali tidak sejalan dengan peningkatan kemampuan dasar siswa, terutama dalam hal membaca atau literasi.
Data dari PISA 2022 menyebutkan bahwa skor literasi membaca siswa Indonesia adalah yang terendah sejak kita ikut serta, yaitu 359 poin. Ini bukan sekadar angka—ini adalah sinyal bahwa ada yang salah dalam cara kita membangun pondasi pendidikan.
Literasi bukan hanya soal bisa membaca kata, tapi soal memahami makna. Anak yang tidak mampu memahami bacaan akan kesulitan mengikuti pelajaran lain seperti matematika, sains, bahkan pendidikan karakter.
Masalah literasi ini bukan hal sepele atau teknis belaka. Ini adalah masalah struktural yang perlu solusi menyeluruh. Pemerintah memang sudah membuat berbagai program, seperti pengiriman jutaan buku ke sekolah-sekolah di daerah tertinggal. Ini adalah langkah positif. Tapi buku saja tidak cukup. Kita butuh guru yang peduli, orang tua yang terlibat, dan lingkungan yang mendukung.
Asesmen Nasional menunjukkan bahwa hanya separuh siswa kita yang mencapai standar minimum literasi. Artinya, setengah dari generasi penerus bangsa belum memiliki bekal dasar untuk menghadapi dunia yang serba cepat dan penuh informasi.
Kabar baiknya, perubahan bisa terjadi. Sebuah studi dari Kemendikdasmen menunjukkan peningkatan kemampuan membaca hingga 8 % di sekolah-sekolah yang menerima bantuan buku. Tapi, perubahan ini butuh konsistensi. Tidak cukup hanya program jangka pendek—yang kita butuhkan adalah budaya literasi yang terus tumbuh.
Di era digital, ancaman literasi tidak hanya dari kurangnya buku, tetapi dari gempuran konten hiburan yang dangkal. Anak-anak lebih akrab dengan video pendek daripada membaca cerita. Karena itu, literasi digital juga penting. Media sosial bisa menjadi sarana promosi membaca, bukan hanya tempat mencari hiburan.
Budaya literasi harus dimulai dari rumah, dari ruang kelas yang menyenangkan, dan dari komunitas yang menghargai membaca. Kita perlu menciptakan suasana di mana membaca menjadi hal yang menyenangkan, bukan tugas berat.
Membangun literasi adalah investasi jangka panjang. Jika kita ingin masa depan yang cerah, kita harus mulai dari sekarang—dengan kepedulian yang nyata, program yang tepat, dan semangat untuk terus memperbaiki diri.
Karena bangsa yang mampu membaca dan memahami, adalah bangsa yang siap menghadapi masa depan dengan percaya diri dan kemampuan yang mumpuni
Dengan demikian, kita dapat menciptakan generasi yang tidak hanya pintar secara academis, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memahami dan mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan sehari hari. Mari kita bergandengan tangan untuk meningkatkan literasi bangsa, demi masa depan yang lebih baik.
by : Ainur Rahman