PerihalOpini – Di balik panggung megah penuh sambutan dan tepuk tangan, ada barisan paling belakang yang jarang dilihat, apalagi didengar. Mereka bukan pembicara utama, bukan wajah di spanduk, tapi justru jadi saksi paling jujur dari sandiwara bernama “keberhasilan program”.
Realitanya, banyak inisiatif yang digadang-gadang sebagai terobosan hanya berakhir menjadi formalitas belaka—dandanan cantik di atas proyek kosong. Sekadar konsumsi publik, pencitraan demi pencapaian semu. Di balik poster yang dipasang dan media yang dilibatkan, seringkali substansi justru tertinggal di belakang.
Mirisnya, para “pemain belakang” ini semakin lihai memainkan peran. Mereka tahu betul bahwa yang dibutuhkan bukan keberhasilan, tetapi narasi keberhasilan. Bukan hasil nyata, melainkan dokumentasi yang tampak hebat. Kita sudah masuk ke babak di mana publikasi lebih penting dari produktivitas, pencitraan lebih utama daripada pencapaian.
Bukan berarti mereka tak sadar. Mereka paham bahwa banyak hal berjalan tidak sebagaimana mestinya. Mereka tahu bahwa tepuk tangan yang diberikan pun sering kali tanpa hati. Tapi dalam diam, mereka juga terjebak dalam dilema: antara idealisme yang menjerit dan realitas yang menuntut bertahan hidup. Nurani tidak bisa membayar tagihan. Maka, diam dianggap sebagai pilihan paling realistis.
Opini ini bukan untuk menyalahkan, melainkan sebagai pengingat: bahwa di tengah parade kepura-puraan, masih ada yang merasa janggal, masih ada yang bertanya, “Untuk apa semua ini?” Dan justru dari kursi belakang itulah, kesadaran itu tumbuh—bahwa kejujuran mungkin tak bersuara keras, tapi masih hidup. Masih ada mereka yang diam-diam menjaga akal sehat di tengah kebisingan palsu.
Barangkali belum saatnya panggung berubah. Tapi selama masih ada yang gelisah dan enggan ikut bersorak atas hal-hal semu, kita bisa percaya: kursi belakang bukan tempat kalah. Ia bisa jadi tempat awal perubahan—yang jujur, yang nyata.