PerihalNasional – Di tengah sorotan publik terhadap kondisi ekonomi rakyat yang kian sulit, pemerintah justru kembali mengundang tanda tanya besar. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi menetapkan standar biaya masukan tahun anggaran 2026, termasuk di dalamnya anggaran konsumsi untuk rapat-rapat tingkat tinggi.
Salah satu poin paling mencolok adalah alokasi anggaran konsumsi rapat sebesar Rp171.000 per orang, yang terbagi atas Rp118.000 untuk makanan dan Rp53.000 untuk snack. Angka ini dianggap sangat tidak selaras dengan kondisi riil masyarakat yang masih bergelut dalam kemiskinan, kelaparan, pengangguran, dan kesenjangan sosial yang makin melebar.
Ironisnya, kebijakan ini hadir hanya beberapa bulan setelah Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran Negara, yang menegaskan pentingnya realokasi belanja negara ke sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan infrastruktur.
Namun, keputusan Sri Mulyani justru dinilai kontra-produktif terhadap semangat efisiensi tersebut. Anggaran mewah untuk konsumsi para pejabat saat rapat dipandang sebagai bentuk pemborosan, bahkan pesta kecil-kecilan di tengah krisis rakyat.
“Ketika para pejabat menikmati makanan mewah dalam ruang rapat ber-AC, ada rakyat yang harus bertahan hidup dengan sisa nasi semalam. Ada anak-anak yang tidak bisa sekolah, ada gelandangan yang makan dari tempat sampah,” ujar Hilal Hidayat, Sekretaris Umum HMPH Unija 2025-2026.
Data menunjukkan, saat ini ada sekitar 3,9 juta anak di Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan, padahal Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Sayangnya, akses terhadap pendidikan masih menjadi mimpi bagi sebagian besar rakyat kecil. Bukan karena mereka tak mau sekolah, tetapi karena tidak adanya jaminan dari negara untuk membuka akses dan menanggung biaya pendidikan secara nyata.
Di sektor ekonomi, angka pengangguran nasional mencapai 3,31%, dengan lebih dari 26 ribu kasus PHKtercatat hingga Mei 2025. Padahal Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa ekonomi harus disusun berdasarkan asas kekeluargaan, demi kesejahteraan bersama. Namun, realita di lapangan justru mencerminkan kemewahan segelintir elite, sementara rakyat bergelut dengan kecemasan kehilangan pekerjaan.
Sementara itu, sektor kesehatan pun tidak lepas dari krisis. Masalah gizi buruk, stunting, akses layanan yang tidak merata, hingga fasilitas kesehatan yang tidak layak masih menjadi wajah buram pelayanan publik Indonesia. Alih-alih memperbaiki hal-hal tersebut, negara justru sibuk menyusun anggaran konsumsi rapat yang selangit.
Kebijakan ini dinilai mencerminkan budaya hedonisme birokrasi, sangat jauh dari semangat kesederhanaan yang pernah dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Bung Hatta, salah satu proklamator kemerdekaan RI, dikenal hidup sederhana hingga akhir hayat. Ia bahkan tak mampu membeli sepatu impiannya yang hanya ada di brosur yang ia simpan bertahun-tahun. Di masa pensiun, Bung Hatta harus bergelut dengan tagihan listrik dan air.
“Jika Bung Hatta, wakil presiden pertama, memilih hidup bersahaja demi idealisme kemerdekaan, maka hari ini para pejabat justru hidup bergelimang kemewahan—seolah lupa bahwa amanat rakyat adalah penderitaan yang harus diselesaikan, bukan dilupakan,” tegas Hilal.
Kini publik bertanya, di mana keberpihakan negara? Ketika angka stunting terus naik, pendidikan masih mahal, dan PHK semakin tinggi, apakah benar konsumsi rapat lebih penting daripada kelangsungan hidup rakyat? Jika efisiensi anggaran hanya sekadar jargon, maka wajar bila rakyat kembali meragukan arah kebijakan pemerintah.