PerihalDaerah – Gelombang demonstrasi yang mewarnai politik nasional pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menyisakan catatan kelam bagi demokrasi Indonesia. Tragedi 28 Agustus 2025 atau yang disebut publik sebagai Agustus Hitam, menjadi sorotan setelah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob saat aksi menolak kenaikan tunjangan DPR di Jakarta. Insiden ini memicu gelombang duka dan kecaman dari berbagai pihak terhadap cara aparat menangani aksi massa.
Tak berhenti di situ, aksi susulan pada 3 September 2025 kembali memanas di depan Gedung DPR RI. Ribuan massa, termasuk aliansi mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil, turun ke jalan dalam demonstrasi yang disebut sebagai September Hitam. Dalam aksi tersebut, situasi sempat ricuh hingga terjadi aksi pembakaran ban dan kericuhan kecil yang memperlihatkan potret buram kebebasan berpendapat di tanah air.
Menyikapi kondisi tersebut, Himpunan Mahasiswa Hukum (HIMAKUM) Universitas Bahaudin Mudhary Madura mengambil sikap tegas dengan menyerukan penolakan terhadap segala bentuk anarkisme dalam demonstrasi.
Koordinator Divisi Pengembangan Intelektual HIMAKUM, Moh Malik Wahdi, menegaskan bahwa mahasiswa harus tampil sebagai teladan dalam menjaga moralitas perjuangan.
“MENOLAK ANARKISME berarti menolak kerusakan moral, menolak perpecahan, dan memilih jalan kebijaksanaan. Generasi muda harus menjadi teladan dengan menanamkan nilai kedamaian, persatuan, dan tanggung jawab sosial,” tegas Malik.
Ia menambahkan bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan dituntut menggunakan kekuatan intelektualnya, bukan kekerasan, dalam menyampaikan aspirasi.
“Hanya dengan moralitas yang kuat bangsa ini bisa maju tanpa harus dikotori oleh kekerasan dan kekacauan,” pungkasnya.
HIMAKUM berharap momentum Agustus Hitam dan September Hitam menjadi pelajaran penting bagi mahasiswa agar tetap kritis dan vokal, tetapi tetap menjaga marwah perjuangan dengan mengedepankan dialog dan cara-cara yang beradab.