PerihalBudaya – Pada 11 Juli 2025, Lapangan Basket Universitas Islam Madura (Uniba Madura) berubah wujud menjadi panggung perayaan budaya yang hangat, meriah, dan sarat makna. Ribuan orang memadati area terbuka ini—mahasiswa, pemuda, masyarakat umum, hingga pegiat seni dan budaya. Beberapa tokoh penting pun turut hadir: budayawan kawakan D. Zawawi Imron, Ika Arista sebagai empu keris perempuan kebanggaan Sumenep, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Sumenep, perwakilan Kapolres Sumenep, serta jajaran rektorat Uniba Madura.
Mereka berkumpul dengan satu tujuan: menyalakan kembali semangat budaya Madura melalui Festival Konser Budaya 2025.
Ketua Panitia, Moh Iskil El Fatih, menegaskan bahwa panggung ini bukan sekadar ajang seremonial.
“Kami tidak sedang membuat acara. Kami sedang merangkai doa untuk Madura dengan cara kami: membangun panggung, menyalakan lampu, menghadirkan penari, dan membuka ruang bagi suara-suara budaya yang nyaris terlupakan,” ucapnya.
Festival bertema “Ghei Bintang”, yang berarti memberi cahaya dalam bahasa Madura, lahir dari kegelisahan generasi muda akan identitasnya sendiri—sekaligus keyakinan bahwa budaya bukan hanya sekadar tontonan, tetapi warisan yang harus dijaga bersama.
“Harapannya, dari sudut kecil di Sumenep, semangat baru bisa dinyalakan. Kami sadar panggung ini mungkin sederhana, tapi niat kami tidak. Kami ingin panggung ini mengetuk hati, membangkitkan kesadaran, dan merangkul generasi,” lanjut Iskil.
Di balik gemerlap panggung, mahasiswa bekerja tanpa pamrih. Mereka berlatih menari hingga larut malam, merancang bazar UMKM mahasiswa dari nol, mengundang empu keris, pengrajin batik, hingga komunitas seni lokal—semua dilakukan demi satu tekad: menumbuhkan rasa bangga dan menjaga budaya agar tetap berdenyut di tengah derasnya arus zaman.
“Kami tidak dibayar dengan uang, tapi kami dibayar dengan makna. Dan makna itu tumbuh setiap kali kami melihat tawa penonton, mata anak-anak kecil yang terpesona menatap keris, atau tepuk tangan meriah saat musik Tong Tong dimainkan,” ungkap Iskil.
Baginya, budaya adalah pondasi yang tidak boleh punah ditelan modernisasi. Di tengah gelombang digitalisasi yang kian deras, panggung ini menjadi ruang perlawanan yang lembut—melawan lupa, melawan rasa malu mengakui jati diri Madura, sekaligus menepis rasa inferior sebagai daerah.
“Kami percaya, dari kampus kecil ini, kami bisa menyalakan cahaya. Mungkin cahayanya belum terang, tapi kalau dijaga bersama, suatu hari ia akan bersinar seperti bintang,” pungkasnya.
Senada dengan itu, Rektor Uniba Madura, Prof. Dr. Ir. H. Rachmad Hidayat, M.T IPU, ASEAN-Eng., membuka acara dan menegaskan bahwa budaya adalah identitas sebuah daerah.
“Tanpa budaya, kita tidak akan pernah dikenal. Inilah bentuk perjuangan kita bersama untuk merawat warisan budaya di tengah arus digital yang terus berkembang,” tegasnya.
Di panggung sederhana di Timur Jawa ini, generasi muda Madura menyalakan lentera. Mungkin kecil, tapi cukup untuk menyalakan jalan pulang bagi ingatan—bahwa budaya bukan hanya cerita masa lalu, tetapi nafas yang harus terus dijaga hari ini.