PerihalDaerah – Banjir yang kembali merendam sejumlah titik di kawasan perkotaan Kabupaten Sumenep memicu perhatian serius dari berbagai kalangan. Genangan air yang melumpuhkan akses jalan utama, merendam rumah warga, hingga mengganggu aktivitas ekonomi, menjadi bukti nyata bahwa tata kelola lingkungan di daerah ini belum dijalankan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sumenep, Sahid Badri, menilai bahwa akar persoalan banjir tidak semata-mata disebabkan oleh curah hujan tinggi, melainkan oleh kegagalan sistemik dalam manajemen lingkungan kota.
“Banjir bukan hanya soal hujan deras. Ini cerminan dari kerusakan sistem lingkungan yang dibiarkan tanpa perbaikan. Saluran air dipenuhi sampah, kawasan resapan berubah menjadi bangunan, dan aktivitas galian C dibiarkan tanpa pengawasan. Semua ini memperparah keadaan,” ujar Sahid saat diwawancarai media pada Selasa (14/5/2025).
Menurutnya, kondisi drainase yang tak lagi berfungsi optimal menjadi salah satu penyebab utama banjir. Minimnya infrastruktur pengelolaan limbah dan kebiasaan buruk masyarakat dalam membuang sampah sembarangan telah membuat air hujan sulit mengalir dengan semestinya.
“Ketika saluran mampet, banjir tak bisa dihindari. Ini bukan peristiwa baru, tapi selalu dihadapi dengan pendekatan reaktif. Kita butuh perubahan paradigma: dari menanggulangi, menjadi mencegah,” tegasnya.
Selain itu, Sahid menyoroti maraknya alih fungsi lahan di Sumenep. Kawasan yang dulu berperan sebagai ruang terbuka hijau dan area serapan air kini banyak berubah menjadi permukiman padat dan bangunan komersial. Ia menyebut hal ini sebagai konsekuensi dari lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan dalam penerapan regulasi tata ruang.
“Banyak lahan hijau kini berubah menjadi hamparan beton. Akibatnya, air hujan tidak lagi meresap ke dalam tanah, tetapi langsung mengalir ke jalan dan permukiman warga. Pemerintah harus mengevaluasi ulang perizinan dan bertindak tegas terhadap pelanggaran tata ruang,” lanjutnya.
Tak berhenti di situ, aktivitas galian C yang kian menjamur di beberapa wilayah juga dinilai turut memperburuk kondisi lingkungan. Aktivitas tersebut tidak hanya merusak struktur tanah, tetapi juga mengikis daya dukung lingkungan.
“Ini bukan hanya soal legalitas. Dampaknya nyata di lapangan: vegetasi rusak, tanah menjadi rapuh, dan potensi bencana seperti banjir maupun longsor makin besar,” ujar Sahid.
Menyikapi kompleksitas permasalahan ini, HMI Cabang Sumenep mendesak Pemerintah Kabupaten agar segera mengambil langkah strategis dan komprehensif. Menurut Sahid, sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi pemuda menjadi kunci dalam menyusun kebijakan lingkungan yang berpihak pada keberlanjutan.
“Harus ada kebijakan yang terintegrasi—dari pengelolaan sampah, pengawasan tata ruang, hingga penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan. Semua elemen harus dilibatkan secara aktif dan setara,” tegasnya.
HMI juga menyatakan komitmennya untuk tidak hanya menjadi mitra kritis, tetapi juga mitra kolaboratif. Mereka siap terlibat dalam edukasi publik, advokasi kebijakan, serta pengawasan partisipatif terhadap proyek-proyek yang berdampak pada lingkungan.
“Ini tanggung jawab kolektif. Jika kita tidak bertindak sekarang, maka yang kita wariskan hanyalah krisis yang lebih besar kepada generasi mendatang. HMI siap berada di barisan terdepan, mengawal perubahan dan menjaga keberlanjutan lingkungan di Sumenep,” pungkas Sahid.