PerihalNasional – Sebagai pilar utama dalam sistem demokrasi, partai politik memiliki peran sentral dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik dan kaderisasi (Budiardjo, 2008). Kedua fungsi ini menjadi penentu utama kualitas kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan. Namun, praktik rekrutmen yang mengutamakan popularitas elektoral (popularity based recruitment) dibandingkan meritokrasi (merit based recruitment) semakin marak terjadi, seperti yang terlihat dari masifnya perekrutan artis dan public figure oleh berbagai partai politik. Fenomena ini mencerminkan pergeseran orientasi partai dari pembangunan kapasitas jangka panjang menuju pencarian keuntungan elektoral jangka pendek (Norris, 2011).
Rekrutmen berbasis popularitas pada dasarnya merupakan strategi yang berfokus pada nilai elektoral (electoral value) dan potensi viralitas di media sosial, sementara mengabaikan aspek kapabilitas, kompetensi, serta kedalaman pemahaman ideologis (Meyer & Wagner, 2013). Hal ini berpotensi menghasilkan calon pemimpin yang tidak memenuhi standar kompetensi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi publik secara efektif.
Dampak dari model rekrutmen semacam ini mulai terlihat ketika figur-figur tersebut menduduki posisi strategis di lembaga legislatif dan birokrasi. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah mereka memiliki kapasitas kebijakan yang memadai atau justru terjebak dalam aktivitas performatif yang minim substansi (Goffman, 1959). Dalam perspektif teori keagenan (agency theory), ketidaksesuaian antara kinerja aktor politik dengan harapan publik dapat menimbulkan masalah kepercayaan (principal-agent problem), yang pada akhirnya berujung pada delegitimasi politik (political delegitimization) (Stokes et al., 2013).
Delegitimasi ini terjadi ketika representasi politik dianggap gagal memenuhi aspirasi masyarakat, sehingga memicu kekecewaan kolektif yang dapat berubah menjadi unjuk rasa besar-besaran (Dalton, 2004). Demonstrasi massa tidak dapat dipandang sebagai peristiwa terisolasi, melainkan sebagai gejala kegagalan institusional, khususnya kegagalan partai dalam menjalankan fungsi rekrutmen dan kaderisasi secara bertanggung jawab.
Oleh karena itu, reformasi partai politik yang berfokus pada penguatan sistem rekrutmen dan kaderisasi yang transparan, akuntabel, dan berbasis meritokrasi menjadi suatu keharusan. Langkah ini tidak hanya diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik, tetapi juga untuk memperkuat ketahanan demokrasi Indonesia di masa depan.
Oleh: Fathor Rosy Kabid. OKK GEN Sumenep, dan Aktivis Pemerhati Sosial Politik